Gadis Bermotor”, Modus Baru PSK Semarang

Hindari Kejaran Aparat, Tarif pun Jadi Meningkat

Belakangan ini, pekerja seks komersial (PSK) bermotor kian marak di Semarang. Siapa mereka, serta bagaimana modus operandinya? Wartawan Suara Merdeka Adi Prianggoro dan Garna Raditya melakukan penelusuran.

LEPAS tengah malam, Semarang baru terbebas dari hujan. Udara masih terasa dingin, jalanan yang basah pun terlihat lengang. Di tengah suasana yang lebih enak untuk tidur itu, sejumlah perempuan muda bergerombol di tepi Jalan Pandanaran. Mereka asyik ngobrol sembari duduk di atas sadel sepeda motor jenis matic. Ada yang sendiri, ada yang berboncengan. Meski berhenti, perempuan-perempuan berusia antara 18 hingga 30 tahun itu membiarkan mesin dan lampu kendaraannya menyala.

Mereka berpenampilan modis: wajah berbalut make up serta membungkus tubuh dengan tank top, jaket, kaus ketat, celana hipster atau rok mini. Beberapa mengisap rokok. Sekilas, mereka tampak seperti gadis-gadis yang baru budhal dari tempat hiburan malam. Yang sebelum pulang ke rumah, menyempatkan diri menghirup udara segar di tepi jalan. Dari jarak sekitar 200 meter, dalam temaram lampu jalan, kami amati mereka diam-diam.

Gadis-gadis itu masih terus berbincang. Tawa lepas sesekali terdengar di sesela obrolan. Satu hal yang pasti, mereka selalu membunyikan klakson jika ada sepeda motor atau mobil yang lewat.

Beberapa pengendara laki-laki merespons dengan memperlambat dan menghentikan laju kendaraannya. Setelah mengobrol singkat, si gadis meninggalkan tempat, dan sang lelaki mengikutinya dari belakang.

Di kalangan ’’penghayat’’ kehidupan malam, perempuan-perempuan itu dikenal dengan sebutan “gadis bermotor”. Mereka bukan pengunjung yang baru pulang dari tempat hiburan malam, melainkan PSK yang tengah menunggu mangsa. Disebut “gadis bermotor” karena saat beroperasi selalu menggunakan peranti sepeda motor.

Sekian lama melakukan pengamatan, kami pun menyambangi “gadis bermotor”. Seperti yang sudah-sudah, mereka menyambut dengan lengkingan suara klakson. Kendaraan kami parkir beberapa meter dari tempat mereka mangkal. Seorang gadis berambut panjang dengan tubuh semampai dengan cekatan menghampiri kami. ’’Mau cari cewek, Mas? Kalau mau Rp 200 ribu sudah termasuk tarif kamar,’’ ucapnya tanpa basi-basi.

Karena terlampau mahal, kami mencoba menawar. ’’Wah, kok mahal sih, Mbak. Gimana kalau Rp 150 ribu?’’ ujar kami terbata-bata karena sebelumnya belum pernah sekali pun bertransaksi dengan PSK.

Harga Perkenalan

Diam sejenak, si gadis menyapukan pandangan matanya ke arah kami, dari ujung rambut hingga ujung kaki. ’’Ya wis ndak papalah, itung-itung harga perkenalan. Kalau gitu Mas sekarang ikut saya,’’ kata si rambut panjang sembari menyebut nama sebuah “hotel kresek” di Semarang Utara.

Perempuan itu melajukan kendaraannya cukup kencang dan kami segera mengekor di belakang. Sampai di tujuan, ia langsung menyorongkan uang Rp 30 ribu kepada resepsionis. Itu uang sewa kamar short time dengan fasilitas kamar mandi di dalam ruangan.

Pergerakannya yang thas-thes, menunjukkan kalau ia biasa menggunakan tempat itu. Seorang pegawai hotel menyapanya dengan nada bercanda: ’’Wah, dapat pelanggan banyak ya, Mbak?’’

Setelah menerima kunci, kami pun bergegas menuju ke kamar. Ruang berukuran sekitar 3×3 meter persegi itu terasa pengap. Kasurnya tak rapi-rapi amat, seprai dan bantalnya lusuh dan kusam. Naga-naganya, kamar ini baru saja dipakai kencan oleh pasangan lain. Tapi, si “gadis bermotor” tak mempermasalahkan. Sampai di dalam kamar, ia langsung mengunci pintu dan astaga, buru-buru melucuti pakaian. “Ayo, Mas, buruan,” ujarnya merajuk.

Melihat gelagat itu, kami berusaha meyakinkan, kalau kesepakatan tetap berlaku. Uang tarif ditambah tips kami serahkan, dan ia pun kembali tenang. Kesempatan berbincang-bincang kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk menggali informasi yang dibutuhkan.

*****
Lebih Bebas dan Terlihat Cukup Berkelas

BUNYI decit dipan sesekali terdengar disertai suara desahan dari kamar-kamar lain memecah keheningan malam itu.

Perbincangan dengan seorang ’’gadis bermotor’’, sebut saja Nani, masih berlangsung intim di sebuah kamar di hotel di daerah Semarang Utara. Kami terpaksa berbohong dengan mengatakan tiba-tiba kehilangan mood lantaran suasana kamar tidak mendukung.

Nani mengisahkan, ia memilih bergabung dengan PSK bermotor yang biasa mangkal di Jalan Pandanaran dengan alasan keselamatan. Dengan sepeda motor, perempuan berparas manis itu bisa menghindari kejaran aparat. Selain itu, ia juga leluasa berkeliling untuk menjaring lelaki hidung belang.

“Coba kalau jalan kaki, kalau ada operasi gampang digaruk. Dengan mengendarai motor, saya bisa mengelabui petugas,” ujar Nani, sambil menarik selimut untuk menutup bagian sensitif dari tubuhnya.

Ada keuntungan lain yang diperoleh Nani yang menggunakan sepeda motor saat beroperasi. Apakah itu? Tarif yang tinggi. Ya, dengan kata lain, sepeda motor jenis matic relatif baru yang ia kendarai dapat menaikkan harga pasaran.

“Penampilan saya jadi tambah keren, kayak anak-anak gaul zaman sekarang. Saya nggak ragu menggaet orang bermobil. Sebaliknya, konsumen pun tak merasa rugi membayar tinggi. Saya biasa buka dasaran dengan tarif Rp 200 ribu sampai Rp Rp 250 ribu,” tuturnya.

Ia menceritakan, sebelumnya pernah ’’bekerja’’ di komplek Resosialisasi Argorejo atau lebih populer dengan sebutan Lokalisasi Sunan Kuning (SK). Ia juga pernah beroperasi di kompleks JBL (Gambilangu—Red), Kaliwungu, Kendal.

Bekerja di kompleks lokalisasi, menurut Nani, banyak aturannya dan harus nurut dengan mami alias sang mucikari.

’’Kalau di sana (lokalisasi—Red) ada peraturan saya datang dan pulang jam berapa. Tapi kalau di jalan dengan naik sepeda motor, saya bisa datang jam dan hari apa pun, terserah saya,’’ ucapnya lugas, seraya memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai.

Kami pun tak bisa menahan Nani lebih lama lagi. Ia beralasan harus kembali mengitari jalan untuk menjaring pelanggan lain.

Tanpa basi-basi, perempuan asal Kaliwungu, Kendal, itu pun keluar dari kamar dan membiarkan kami terbengong-bengong di atas kasur.

Untuk menelisik lebih jauh bagaimana lika-liku gadis bermotor ini, kami lantas ’’menggaet’’ salah seorang di antara mereka dari Jl Imam Bonjol.

Sebelumnya di sana memang sudah menjadi lokasi prosititusi liar, namun akhir-akhir ini mulai banyak bermunculan gadis bermotor. Meski demikian, tarif gadis bermotor di Jl Imam Bonjol lebih murah jika dibandingkan dengan Jl Pandanaran.

Sebut saja namanya Gendhis, seorang ’’gadis bermotor’’ yang beroperasi di sepanjang Jl Imam Bonjol.

Ibu berusia 32 tahun yang mempunyai seorang anak ini ’’mengajak’’ kami masuk ke sebuah hotel lain, juga di daerah Semarang Utara.
Beroperasi dengan naik sepeda motor, bagi Gendhis, terlihat lebih keren ketimbang teman-temannya yang hanya nongkrong di sepanjang Jl Imam Bonjol.

’’Saya pakai sepeda motor setahun belakangan. Selain aman dari razia, juga gampang mendapatkan pelanggan karena lebih terlihat berkelas dibandingkan mereka (PSK lain-Red) yang berdiri di tepi jalan,’’ ucapnya.

Lindungi Diri

Kordinator Lapangan Nonlokalisasi Griya ASA, Afif Iriawan mengatakan, para PSK yang menggunakan motor tersebut sebagai upaya untuk melindungi dirinya dari razia, diperkirakan terdapat 90 orang.

’’Tiap kali razia dilakukan, para PSK tersebut menggunakan motor untuk melarikan diri dan panik. Satpol PP lebih memilih tidak mengejarnya karena untuk menghindari kecelakaan yang seringkali terjadi,’’ ujarnya.

Modus itu dianggap berhasil dan menjadi tren menggunakan motor kian marak. ’’Modus ini muncul pada 2006 dan justru diawali memakai kendaraan pria yang bisa berlari kencang. Namun karena dirasa kurang trendi, maka mereka mulai memakai sepeda motor jenis matic,’’ katanya.

Keberadaan para gadis bermotor ini, menurut sejumlah sumber, mulai muncul sejak warung-warung teh poci di sekitar Lapangan Simpanglima digusur.
Kedai teh poci ini sejatinya adalah hanya kedok semata. Tempat tersebut digunakan para PSK untuk mencari rejeki ’’menemani’’ lelaki. Perempuan-perempuan yang nongkrong di situ acap disebut ciblek, atau kepanjangan dari ’’cilik-cilik betah melek’’.

Nah, sejak keberadaan kedai poci itu digusur para ciblek ini seperti kehilangan lahan. Mereka pun kembali turun ke jalan di sekitar Kawasan Simpanglima.
Namun lantaran beberapa kali terjaring razia, mereka lantas mulai beroperasi dengan mengendarai sepeda motor.

Kepala Satpol PP Kota Semarang, Tri Supriyanto, melalui Kabid Operasi, Sumarjo mengatakan, pihaknya telah memantau dan merazia para ’’gadis bermotor’’ ini. Sebelum menggelar razia, petugas berpakaian preman diterjunkan untuk melakukan identifikasi terlebih dahulu.

’’Petugas bahkan menggunakan mobil plat hitam dan sepeda motor untuk menangkap PSK bermotor. Mereka biasa nongkrong di atas pukul 00.00 dan kami telah mengantongi ciri-ciri khusus untuk mengidentifikasi PSK bermotor,’’ kata Sumarjo. (****)

Source: http://harubiru.blogspot.com/