Tagged: Ayam Kampus Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • sundalpapua 1:12 pm on November 21, 2010 Permalink | Balas
    Tags: Ayam Kampus,   

    Menguak Jaringan Penjualan Gadis di Bawah Umur Butuh Kelihaian untuk Bisa “Memakai” Melati 

    Terbongkarnya jaringan penjualan gadis di bawah umur untuk pemuas nafsu pria hidung belang di Semarang sungguh mengejutkan kita. Bagaimana modus operandi jaringan tersebut? Berikut laporannya.

    KALAU saja seorang ibu muda yang kehilangan anak gadisnya, Mawar (15), tidak mengadukan ke Polsek Tugu, bisa jadi jaringan penjualan gadis di bawah umur tersebut belum terungkap.

    Dari investigasi Suara Merdeka, jaringan mereka ternyata begitu rapi. Betapa tidak. Untuk “memakai” seorang gadis tersebut bukanlah persoalan mudah. Pemakai harus memiliki kelihaian dan pergaulan yang baik dengan si penyalur. Jika tidak, jangan harap bisa menikmati.

    “Biasanya, tamu yang datang ke rumah atau sebelumnya menelepon,” ujar Ny Ivon (44), seorang perantara yang tertangkap.

    Warga Gisikdrono itu mengaku sudah lama menggeluti dunia “esek-esek”. Sebelum itu, ketika lokalisasi Sunan Kuning (SK) masih resmi buka, dia menjadi salah satu penyalur di tempat itu.

    Ia menyatakan, menyediakan pekerja seks komersial (PSK) yang rata-rata berumur lebih dari 20 tahun lebih mudah dibandingkan gadis di bawah umur. Sebab, pemesannya orang-orang tertentu yang tidak setiap saat bertemu.

    “Kalau mencari PSK, biasanya orang cukup menyediakan uang Rp 100.000. Kurang dari itu juga bisa,” katanya.

    Namun, untuk pesanan khusus harus merogoh kocek sampai jutaan. “Ketika menjual Melati (bukan nama sebenarnya) saya mendapat Rp 1.500.000. Itu uang yang masuk ke saya. Nggak tahu kalau yang lain,” katanya.

    Selama menggeluti dunia tersebut, dia mengaku baru kali pertama ini menawarkan gadis di bawah umur kepada tamu. Awalnya, dia ditawari dua “daun muda” oleh Ny Sulistyowati, yang ternyata anaknya sendiri.

    Mereka itu Bunga (13) dan Melati (14), bukan nama sebenarnya. “Awalnya saya pesimistis, apakah ada tamu yang mencari gadis seumur mereka. Karena teman dekat, saya berupaya mencarikan tamu untuk mereka. Ny Sulistyowati saat itu butuh uang untuk membayar kontrak rumah,” ujar Ny Ivon.

    Ketika berjalan-jalan di sebuah mal di kawasan Simpanglima, dia bertemu seorang pria setengah baya yang minta dicarikan “daun muda”. Bahkan, kalau bisa yang masih di bawah umur.

    Tanpa pikir panjang Ny Ivon menyanggupi permintaan tersebut. Transaksi untuk menentukan tarif, tempat, dan waktu pun dibuat.

    Dia mengatakan, pemesan meminta agar “pesanan” diantar ke kamar hotel berbintang di kawasan Candi Lama. Kejadian itu sekitar dua bulan lalu. “Saya antar Melati ke hotel dengan taksi,” ujar dia.

    Setelah Melati dipertemukan dengan pemesan, dia tidak langsung pulang. Soalnya, Melati termasuk “pesanan” antik yang pernah dimilikinya. Apalagi, dia masih kecil dan belum berani pulang sendirian ke rumah orang tuanya.

    Ny Sulistyowati kepada petugas mengatakan, di rumah Melati memberikan uang Rp 5 juta dari tamunya. Sebagian uang diberikan kepada Ny Ivon. Selebihnya untuk membayar kontrak rumah.

    Pria itu dua kali “memakai” Melati. “Yang terakhir, bapak itu hanya ingin bertemu, setelah itu memberikan uang Rp 350.000. Di kamar saya hanya ngobrol sebentar. Mungkin bapak itu kasihan dengan saya,” kata petugas menirukan ucapan Melati.

    Mendapat keuntungan besar, Ny Ivon mencari mangsa lain. Kebetulan dia punya kenalan di Jakarta. “Saya menawarkan Bunga kepada dia (kenalannya-Red). Selang beberapa hari, dia menelepon agar Melati dibawa ke Jakarta. Saya dan Ny Sulis (sulistyowati-Red) mengantar sampai ke hotel di Jakarta,” kata Ny Ivon.

    Keduanya menunggu sampai selesai. “Tidak lama dan saya menungguinya. Sehari sudah bisa langsung pulang. Saya dapat bagian Rp 2 juta,” kata dia.

    Tidak semua tamu mencari gadis di bawah umur. Dari sejumlah pria hidung belang yang menghubungi Ny Sulistyowati dan Ny Ivon, masih banyak yang mencari gadis seusia anak SMU. Karena itu, keduanya berupaya mencari “mangsa” dengan cara blusukan di sekolah-sekolah.

    Gadis yang memungkinkan untuk “dijual”, didekati. Agar tidak tersinggung, si gadis ditawari pekerjaan dengan upah tinggi tanpa harus meninggalkan bangku sekolah. Bila dia menyanggupi, Ny Sulistyowati akan mencarikan pria yang mau diajak kencan dengannya.

    Cempaka (17), bukan nama sebenarnya, siswi sebuah SMU di Semarang yang kali pertama menjadi anak asuhnya. Setelah kenal dengan Ny Sulistyowati, hampir setiap hari dia datang ke rumah wanita itu di Jalan Candi Permata perumahan Pasadena.

    Cempaka kepada petugas mengatakan, saat kali pertama kencan dia dibayar Rp 400.000, tapi hanya Rp 150.000 yang diberikan kepadanya. Selebihnya diambil oleh Ny Sulistyowati.

    Dia terkadang mengajak teman-temannya. Ada yang mau diajak “bekerja”. Dari kebiasaan itu, Ny Sulistyowati akhirnya punya beberapa “anak asuh”. Semua masih tercatat sebagai siswi SMU.

    Kasus Semarang Hanya Sebagian Kecil

    KENDATI sebuah jaringan penjualan dan perdagangan anak di bawah umur untuk tujuan seksual di Semarang telah terbongkar, diyakini itu hanyalah salah satu yang bisa terungkap. Kasus tersebut ibarat fenomena gunung es. Yang terungkap hanyalah sebagian kecil, sementara yang masih terpendam dalam-dalam masih menggumpal.

    “Apa yang terlihat dan terungkap di permukaan hanyalah segelintir, belum bisa mencerminkan keadaan yang sebenarnya,” tutur Koordinator Eksekutif Pusat Edukasi Studi Advokasi Anak Indonesia (Perisai) Fatah Muria.

    Muncul indikasi kuat Semarang dan Jateng sebagai salah satu daerah pemasok dan transit bagi sindikat-sindikat perdagangan perempuan terutama anak-anak untuk tujuan seksual. Meski hal itu belum ada penelitian dan analisis yang komprehensif.
    Perisai tidak hendak berlebihan. Simak saja hasil identifikasi Yayasan Setara. Mereka mengemukakan, 10 anak jalanan perempuan diperdagangkan untuk tujuan seksual ke Kepulauan Riau tahun 2000. Mereka ditampung dulu di sebuah tempat oleh broker.

    Menurut pengakuan korban yang berusia 16 tahun kepada Setara, di sana bertemu dengan banyak anak-anak gadis sejenis yang diperdagangkan dengan tujuan serupa. Awal 2001 Perisai, Setara, dan PKPA Medan pernah menangani satu kasus anak yang berasal dari Brebes yang menjadi korban perdagangan anak. Dia dijerumuskan ke dalam prostitusi di Bandar Baru, Medan. Korban akhirnya lari dari lokalisasi setelah mengidap siphilis stadium IV. Kerja sama ketiga NGO itu berhasil memulangkan korban ke keluarga.

    Di Indonesia, kasus tersebut ditengarai telah lama terjadi. Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan mengutip data dari Komisi Ekonomi dan Sosial PBB (ESCAP), memperkirakan sekitar 1 juta orang (20%) dari lima juta pekerja migran asal Indonesia menjadi korban sindikat perdagangan anak dan perempuan muda.

    Dan Indonesia duduk di peringkat ketiga dengan kategori tidak serius dalam memerangi kejahatan tersebut. Pada umumnya korban ditujukan untuk pekerja seks yang dilempar ke Hong Kong, Singapura, Taiwan, Malaysia, Brunei Darussalam, negara-negara Timur Tengah, Australia, Korea, dan Jepang.

    SAMIN (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia) menengarai jumlah kasus perdagangan anak itu akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Asumsinya krisis ekonomi masih terus berkelanjutan; tingkat prevalensi HIV/AIDS lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Sehingga menjadi surga bagi pedofilia (orang yang puas melakukan hubungan seks dengan anak-anak di bawah umur).

    Juga karena lemahnya perangkat serta penegakan hukum yang mampu memberikan perlindungan maksimal bagi anak-anak dan perempuan atas segala tindakan kekerasan.
    Kasus enam anak yang diperjualbelikan dan diperdagangkan di Semarang, persetujuan anak dianggap tidak diperlukan. Sebab, mereka dianggap masih belum matang. KUHP, sebagai dasar hukum pidana di Indonesia, mengatur dalam Pasal 297. Namun, hanya menyangkut hukuman bagi perdagangan perempuan dan anak laki-laki dan belum mengadopsi perdagangan untuk anak-anak perempuan yang diperdagangkan untuk tujuan seksual.

    Pola perdagangan yang terungkap di Semarang masuk dalam kategori yang dijual oleh keluarga. Juga menggunakan bujuk rayu dengan upah yang tinggi dengan pekerjaan ringan. Ada pula yang menggunakan metode penculikan. Kasus ini pernah ditangani oleh ketiga NGO. Anak yang masih di terminal Pulo Gadung, Jakarta, tiba-tiba dipaksa untuk naik bus tujuan Medan. Tentu disertai dengan ancaman. Anak tersebut ditampung di lokalisasi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) sebelum dijerumuskan ke prostitusi.

    “Dari keterangan pelaku, anak-anak dijerumuskan ke dalam perdagangan untuk tujuan seksual dengan memanfaatkan subordinasi (orang tua-anak) dan ketidakmatangan mental,” ujar Fatah Muria. Mereka, lanjutnya, mudah dirayu dengan iming-iming uang cukup melimpah.

    Sejuta anak Indonesia telah disebut sebagai korban pedagangan ke negara lain. Pantas diduga sejuta anak lainnya menjadi korban perdagangan antarwilayah di Indonesia. Upaya penanganan dari pemerintah belum menunjukkan langkah keseriusan. Sebuah keprihatinan bersama di tengah lajunya upaya mencerdaskan bangsa.

     
  • sundalpapua 6:08 pm on October 31, 2010 Permalink | Balas
    Tags: Ayam Kampus   

    Ayam Kampus Nggak Ada Matinye 

    INILAH.COM, Jakarta � Orang-orang Bandung boleh bilang bahwa industri kreatif adalah aktivitas perekonomian yang tahan banting krisis. Tapi itu sepertinya perlu segera dikoreksi.

    Karena ada ‘industri’ kreatif lain yang benar-benar tahan banting dari krisis ekonomi sedahsyat apapun, yaitu bisnis birahi alias pelacuran khususnya maraknya kembali ayam kampus.

    Pelacuran telah menjelma menjadi sebuah hal yang sulit ditebak. Pergerakan mereka sangatlah dinamis seiring berkembangnya jaman. Ayam kampus adalah sebutan bagi mahasiswi yang punya double job menjadi pelacur di dunia kampus.

    Sepak terjang ayam kampus lebih susah ditebak dibanding dengan para pelacur yang biasa berjejer di kawasan prostitusi dan lokalisasi. Bahkan jika diperhatikan penampilan dan kesehariannya di kampus, mereka terlihat sama dengan sejumlah mahasiswi lainnya.

    Pasar merekapun lebih modern dengan memanfaatkan dunia online dalam menjajakan kenikmatan seks mereka. Prostitusi dunia online yang sangat terbuka menjadi ladang bagi ayam-ayam kampus menjajakan diri.

    Ada yang lewat chat ataupun membuat profil di Friendster dan Facebook agar si calon pemakai jasa persetubuhan mereka dapat langsung melihat foto maupun jati diri si ayam kampus.

    Harga yang dipatok pun pasti lebih mahal dibanding dengan kupu-kupu malam di daerah pelacuran. Entah apa yang menjadi alasan utama beberapa mahasiswi memutuskan untuk terlibat di dunia pelacuran ini.

    Namun yang seringkali menjadi alasan adalah bahwa mereka harus membayar uang kuliah sendiri, kecewa dengan pacar, ataupun korban pemerkosaan saat masih duduk di bangku sekolah dan banyak lagi.

    Isi tasnya tidak lupa selalu ada kondom dengan berbagai bentuk dan merek agar dapat setiap saat mampu melayani langganan booking-an yang hadir menghampirinya. Ada ayam kampus yang mencari langganan sendiri maupun melalui jasa ke pihak ketiga atau lewat perantara.

    Harga untuk setiap booking-an ayam kampus bermacam-macam tergantung di mana dia menuntut ilmu. Ayam kampus dari universitas yang terkenal pasti lebih mahal jika di banding dengan kampus swasta yang biasa-biasa saja.

    Namun itu semua tergantung dari cara ayam kampus itu memuaskan pelanggannya. Semakin ayam kampus itu memberikan servis yang memuaskan maka, namanya akan semakin melambung seiring harganya yang juga melambung tinggi.

    Sepanjang Lenteng Agung dan Margonda sangat dikenal sebagai pemasok ayam kampus yang terkenal di seantero Jakarta. Bahkan sebuah penelusuran membuktikan, biar pemasaran ayam kampus lebih laris, ada ayam kampus dari universitas lain di Jakarta yang sengaja rutin mangkal atau nongkrong di kawasan Lenteng dan Margonda. [L1]

     
  • sundalpapua 5:14 am on October 21, 2010 Permalink | Balas
    Tags: Ayam Kampus, , kisah   

    Menguak Jaringan Penjualan Gadis di Bawah Umur Butuh Kelihaian untuk Bisa “Memakai” Melati 

    Menelusuri Kehidupan “Ayam Kampus” di Yogya bagian 2 Jadi Cebu karena Patah Hati atau Broken Home
    PARA ce-bu (cewek bukingan) mengaku bahwa uang yang dikirim orang tua mereka sesungguhnya cukup untuk hidup di kota yang berbiaya hidup paling rendah se-Indonesia ini, tetapi uang kiriman menjadi cepat habis karena dipakai untuk kegiatan hura-hura. Karena itu, para ce-bu biasanya selalu mengeluh tak punya uang.

    Kalimat ini tujuannya untuk mengingatkan bahwa mereka tidak mau diajak kencan secara gratisan. Hanya saja, jika sekadar diajak jalan-jalan mereka tak pernah menyebut tarif untuk jasa mereka. Kalau anda mau, mereka siap berikan bonus ektra kissing lips, necking dan petting. “Terserah lo!” ujar Sinta. Namun ada juga yang secara tegas melakukan penolakan untuk melakukan hubungan seks.

    Seperti yang dituturkan oleh Lisa (23) gadis asal Semarang yang keberatan menyebutkan tempat kuliahnya. Dengan tegas dia menyatakan tidak sanggup untuk melakukan hubungan seks karena takut hamil. Karenanya, maksimal dia hanya mau melayani “close up” sampai “karaoke”. Pertimbangannya karena dia hanya mengganggap bahwa terjunnya dia dalam jalur ce-bu itu bagian dari pergaulan modern sehingga dia masih merasa perlu untuk menjaga keperawanan. “Meski bejat, aku tak ingin kecewakan lelaki yang serius ingin menikahiku,” ujar Lisa.

    Lain halnya dengan Sinta, dia sama sekali tidak takut hamil karena siklus haid-nya teratur. Karena itu, dia hanya mau melayani hubungan seks ketika menurut hitungannya sedang berada pada kondisi tidak subur. Jika masih berada dalam keadaan subur maka dia akan bilang bahwa dia sedang ‘libur’ (menstruasi, red).

    Sebagian besar ce-bu mengaku bahwa mereka melakukan pelacuran karena permasalahan psikologis seperti keluarga yang broken home atau dikhianati pacar. Karena itu tindakan yang mereka lakukan sebagai tindakan protes terhadap keadaan yang tak nyaris tak mau berpihak kepada mereka. Jadi ada sebuah keputus-asaan yang melandasi pemikiran mereka. Sinta mengaku sengaja menjadi ce-bu karena patah hati. Hubungannya dengan sang pacar yang sudah dijalin selama 4 tahun tak direstui oleh ayahnya, sementara mereka sudah melakukan hubungan layaknya suami istri. Karena itu, ketika mereka putus pacaran dia merasa nyaris menjadi orang gila.

    Awalnya hubungan mereka berjalan normal, tetapi bertepatan dengan hari ulang tahun sang pacar, Sinta mempersembahkan mahkota yang seharusnya dia jaga sampai pelaminan. Hanya saja Sinta berani bersumpah, karena ketulusan cinta mereka selama 4 tahun pacaran hubungan seks itu baru dilakukan sebanyak 4 kali. Tetapi, Sinta menjadi sangat marah karena semua orang mengiranya bahwa dia sudah tidur ratusan kali dengan sang pacar. “Awalnya, kita lakukan karena dia minta diberi hadiah ultah yang dapat dikenang selama hidupnya,” aku Sinta.

    Di antara para ce-bu, ada yang secara terus terang mengaku tempat kos mereka agar gampang dijemput pada saat kencan tetapi ada juga yang menyamarkannya dengan harapan menjaga citra yang punya kos.
    Indah (23), misalnya, kepada siapapun mengaku tinggal di sebuah rumah di Jalan Gejayan. Tetapi, setelah dicek, para ce-bu yang mengaku tak saling kenal ternyata memakai alamat yang sama.

    Namun, tak jarang sejumlah ce-bu juga kesal. Sebab, orang yang memesannya ternyata justru mempermainkannya. Seperti yang dialami oleh Asty (20), dia merasa sangat terpukul karena orang yang mengencaninya ternyata memakai nama dan nomor telpon orang lain. Jadi ketika dia menghubungi nomor telpon yang dimaksud, ternyata bukan orang yang baru saja melakukan chatting dengannya sekalipun nama dan nomornya benar. Pengakuan serupa juga dilontarkan oleh Ayu (22). Mahasiswi jurusan Teknologi Informasi yang kos di Jalan Solo itu sekarang tak gampang mau terima tawaran di internet. Sebab, dia pernah berkali-kali dipermainkan orang lain. “Udah gue tunggu, nyatanya nggak jadi dateng. Kesel khan gue,” ujar Ayu. Untuk itu, jika memang orang yang membookingnya serius, dia langsung minta dijemput ditempat dia chatting. Setelah diantar ganti baju ditempat kosnya, maka ayu siap melaksanakan tugasnya.

    Ingin kembali

    Sesungguhnya para ce-bu tahu bahwa langkah yang mereka lakukan keliru. Karena itu, sesungguhnya mereka ingin menjadi orang baik-baik. Namun mereka tak yakin apakah mereka mampu untuk keluar dari dunia hitam yang telah mereka geluti selama ini. Rata-rata mereka sedang mencari, seorang lelaki yang mau mengerti dengan penderitaan batinnya dan mau mengerti segala kondisi yang tengah mereka alami. Secara terus terang mereka mengaku ingin membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, karena mereka telah terlalu lelah dengan beban yang selama ini mereka pikul.

    Meski mereka menebar senyum kepada setiap lelaki, tetapi di balik senyum dan sikap manja yang mereka ‘jual’ sesungguhnya mereka menangis. Mereka merasa tak henti-henti dibelit perasaan bersalah yang terkadang hadir setiap waktu. Karena itu, mereka selalu berusaha untuk menjaga kesehatan karena pada saat sakit, mereka tersiksa oleh rasa penyesalan. Sinta, Indah, Lisa, dan Ayu mengaku bahwa mereka sudah merasa tak punya arti lagi setelah ditinggal pacar yang semula mereka sayangi. Karena mereka tahu, laki-laki lebih menuntut selembar selaput dara daripada segunung rasa setia yang siap mereka berikan. Sementara itu, ketika sakit mereka dibayangi perasaan takut mati. “Laki-laki memang egois, itu yang membuat saya mati rasa,” ujar Sinta.

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal