Tagged: kondom Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • sundalpapua 1:43 pm on December 3, 2008 Permalink | Balas
    Tags: kondom, ,   

    Di Bawah Lindungan Kondom 

    KondomKondomTEMPO Interaktif, Jakarta: Rasa miris masih tersisa di benak dokter cantik, Lula Kamal. Beberapa waktu lalu, di sebuah pusat belanja di Jakarta, Lula pernah dicerca dua orang ibu. Masalahnya, ia dikenal sebagai aktivis yang mengkampanyekan pemakaian kondom. “Mereka menyesalkan saya yang katanya pintar dan cantik justru menyarankan perbuatan zina,” kata Lula seusai konferensi tentang kondom di Jakarta, Senin lalu.

    Pemahaman masyarakat terhadap kondom seperti itu terjadi seiring dengan merebaknya penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. Diketahui, epidemi AIDS di Indonesia tercepat di Asia. Menurut data Departemen Kesehatan, hingga akhir September tahun ini sebanyak 21.151 jiwa di negeri ini telah terinfeksi HIV, 15.136 jiwa dalam fase AIDS. Sebesar 54,3 persen di antaranya berusia 15 sampai 29 tahun.

    Sebagai alat kontrasepsi dan pencegah infeksi, kondom ibarat entitas yang fungsional, tapi penuh dengan asumsi miring. Reputasinya telanjur basah melekat pada penganut seks bebas dan pendukung praktek prostitusi. Bahkan, sebagian kalangan menuding kondom memberi rasa aman bagi lelaki yang suka “jajan”. Sementara dari aspek sosial, karet lateks itu belum seperti helm motor yang sudah dipayungi hukum bila tidak memakainya.

    Kondom memang tidak bisa bisa menjamin perlindungan 100 persen, seperti cita-cita dokter Italia, Gabriel Fallopius, si pembuat kondom pada 1564. Tapi benda itu alat paling efektif menangkal HIV. Menurut Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Dr Sugiri Syarief, terus meningkatnya jumlah penderita HIV berbanding lurus pada rendahnya kesadaran pemakai kondom. “Masyarakat sudah harus menggeser mitos dan stigma sempit itu,” ujarnya.

    Pendapat senada diungkapkan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Dr Nafsiah Mboi. Menurut dia, kini sudah tidak ada waktu lagi berdebat mengenai kondom. Angka 50,2 persen penularan HIV melalui hubungan seksual merepresentasikan kenyataan miris bangsa ini. Bahkan, katanya mengungkapkan, di Papua, penularan sejenis telah mencapai 94 persen. “There is no silver bullet for HIV/AIDS case,” Nafsiah menegaskan.

    Jika dibiarkan, Indonesia akan bernasib sama dengan Afrika. Diperkirakan bakal ada 1-5 juta orang terinfeksi HIV dalam dua tahun mendatang (2010).

    Menurut dia, dari penyebaran 100 juta kondom di Indonesia, sekitar 32.100 kasus HIV dan 100 ribu kasus penyakit kelamin dapat dicegah. Studi laboratorium menunjukkan kondom lateks sangat kedap untuk mencegah masuknya HIV, hepatitis, dan herpes.

    Karena itu, Nafsiah menggalakkan gerakan nasional kondom di beberapa daerah. Di Malang, katanya, ada kesepakatan antara bupati, mucikari, “mami”, tukang ojek, bahkan sopir taksi perihal kesadaran HIV/AIDS. Kesepakatan itu membuat angka penyakit kelamin menurun. Sedangkan di Jawa Timur keseluruhan, sejak 2005, lewat Peraturan Daerah Nomor 5, mewajibkan kondom 100 Persen kepada pekerja seks komersial. Penyebaran kondom juga telah memasuki lembaga pemasyarakatan.

    Lebih jauh, gaya hidup seks bebas di kalangan siswa menengah pertama dan atas memasuki tahap mengkhawatirkan. Kajian Yayasan Kharisma Indonesia menunjukkan, tempat nongkrong pelajar sudah termasuk hotel dan warung Internet mesum seharga Rp 4.000-an. Di tempat tersebut, muda-mudi itu melakukan hubungan seks atau sekadar oral seks. Bahkan presentasi dokter Lula memaparkan bahwa sebuah pesta narkoba kerap dilanjutkan dengan pesta seks. “Mereka kalau mabuk tentu lupa memakai pelindung,” kata Lula.

    Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia Yulie Rettob’l mengatakan banyak kaumnya yang terjangkit virus mematikan akibat “main” tidak aman. Lembaganya kini gencar melakukan sweeping kondom kepada para waria jalanan. “Mereka minimal harus bawa tiga,” katanya.

    Bila tidak, ujar waria asal Papua itu, mereka dikenai sanksi Rp 100-200 ribu. Langkah ini berdasarkan temuan di lapangan seusai Lebaran lalu, tujuh dari 10 waria yang datang dari daerah ke Jakarta positif mengidap HIV. Sungguh mengkhawatirkan.

    Heru Triyono

     
  • sundalpapua 1:17 pm on July 6, 2007 Permalink | Balas
    Tags: AIDS, HIV, , kondom,   

    Seks, Kondom, dan HIV 

    Matahari sudah condong ke barat. Sinar jingganya menerobos masuk melalui jendela ke dalam sebuah bangunan sederhana di salah satu sudut di lokalisasi praktik prostitusi di Tanjung Elmo, Jayapura, Papua.

    Di depan pintu masuk bangunan itu, sejumlah perempuan tampak duduk bergerombol sambil bercengkerama dengan dandanan seadanya. Di antara mereka mengenakan daster, sandal jepit, dan rambut diikat. Wajah mereka hanya disaput bedak tipis dan gincu warna merah.

    Suasana di dalam klinik milik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang terdiri atas tiga bilik itu tampak hiruk-pikuk sejak pukul empat sore. Di depan ruang konseling, beberapa perempuan duduk antre di atas bangku kayu. Di sebelah bilik sempit itu, petugas kesehatan memeriksa kondisi kesehatan para pekerja seks di kawasan itu, terutama terkait dengan penyakit infeksi menular seksual (IMS).

    Pemeriksaan kesehatan para pekerja seks komersial (PSK) di kompleks lokalisasi itu rutin dilakukan sejak beberapa tahun silam. Hal ini untuk mengantisipasi penyebaran penyakit IMS. Apalagi belakangan ini angka kasus HIV/AIDS di Tanah Papua kian meningkat tajam, termasuk di kalangan berisiko, seperti kelompok pekerja seks.

    Semula, penyuluhan kesehatan di Tanjung Elmo kurang mendapat sambutan dari para penghuni lokalisasi. Klinik yang dikelola PKBI itu pun sepi pengunjung. Dengan melibatkan aparat dan tokoh masyarakat setempat, upaya penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan di kawasan ini mulai menunjukkan hasil menggembirakan. Jumlah PSK yang memeriksakan kesehatan terus bertambah.

    Menurut catatan PKBI setempat, 10,9 persen dari 290 pekerja seks komersial di tempat itu positif terinfeksi HIV. Selain itu, 80 persen perempuan yang ada di 24 wisma dalam kompleks itu juga terinfeksi penyakit infeksi menular seksual lainnya. Mereka umumnya warga perantauan, terutama dari Pulau Jawa, dan berusia mulai belasan hingga lebih dari 40 tahun.

    Meri (20-an, bukan nama sebenarnya), asal Blitar, Jawa Timur, menuturkan, setiap pekerja seks di kawasan itu diwajibkan memeriksakan kesehatan minimal sekali setiap pekan di klinik tersebut. “Kami bergiliran periksa kesehatan ke sini, takut kalau sampai kena penyakit,” ujar perempuan berkulit kuning langsat yang telah menghuni kawasan itu sejak empat tahun silam.

    Selain pemeriksaan kesehatan, di klinik itu para PSK diberi penyuluhan tentang kesehatan reproduksi, terutama pentingnya penggunaan kondom saat berhubungan intim agar tidak terjangkit penyakit menular seksual dan HIV maupun sebaliknya, menulari berbagai penyakit IMS dan HIV kepada pasangan atau pengguna jasa mereka. “Di sini ada aturan, setiap PSK wajib menggunakan kondom,” kata dokter di klinik PKBI itu.

    Meski awalnya penggunaan kondom di lokalisasi dipaksakan oleh aparat berwenang, kini sebagian pekerja seks makin sadar untuk menerapkan berhubungan intim yang aman. Mereka pun berani mengambil sikap tegas dengan menolak pengguna jasa yang tidak mau pakai kondom. “Kalau mereka memaksa tidak memakai kondom, ya, lebih baik ditolak saja,” ujar Meri.

    Namun, sejumlah pekerja seks mengaku kadang terpaksa melayani pengguna jasa yang bersikeras tidak mau memakai kondom dengan alasan mengurangi kenyamanan. “Tidak tiap hari ada banyak tamu yang datang. Kalau pas sepi, ya terpaksa mau melayani mereka yang tidak mau pakai kondom. Saya kan harus menanggung biaya hidup anak-anak saya di kampung,” ujar Suti (40-an), PSK asal Jawa Tengah.

    Rendahnya kesadaran para pengguna jasa seks komersial yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat di Papua dalam pemakaian kondom menjadi salah satu pemicu penularan penyakit IMS dan HIV. Padahal, di kompleks lokalisasi yang terletak di pesisir itu telah disediakan ATM kondom yang dibandrol dengan harga relatif murah untuk memudahkan akses memperoleh kondom.

    Menurut Ketua Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) Jack Morin, sejauh ini ada beberapa kategori pelacuran di Papua. Di antaranya jenis pekerja seks di lokalisasi, bar, panti pijat, dan hotel yang kebanyakan dilakukan oleh orang non-Papua.

    “Menurut hasil survei, lelaki Papua lebih banyak melakukan seks imbalan dibandingkan dengan yang non-Papua. Ada beberapa pandangan tentang hubungan seks masyarakat Papua, yakni kenikmatan, prokreasi atau peningkatan hubungan kerabat, tenaga kerja, dan penerus keturunan,” papar Jack.

    Hubungan seks juga dipandang sebagai tersembunyi, di dalam dan luar rumah, ekspresi kejantanan, aspek psikologis yakni lemah lembut, dan aspek religius yaitu dilakukan dengan kesadaran moral baik.

    Permudah penularan HIV

    Hasil Surveilans Terpadu HIV-Perilaku Tahun 2006 menunjukkan bahwa pemakaian kondom dalam hubungan seks yang berisiko ternyata sangat rendah. Data penggunaannya— tanpa membedakan jenis hubungan seks—menunjukkan, hanya 2,8 persen penduduk Papua yang menggunakan kondom.

    Di antara penduduk yang berhubungan seks dengan memberi imbalan, sebesar 14,1 persen menggunakan kondom. Penggunaan kondom pada laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan seks penduduk perempuan.

    Selain itu, kondom sulit diperoleh di pegunungan. Di kawasan pesisir yang mudah dijangkau, penduduk Papua yang tahu tempat mendapatkan kondom mencapai 60 persen.

    Sayangnya, upaya pencegahan ini belum menjangkau penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. “Kondom tidak mudah diperoleh di Papua, terutama di pedalaman dan pegunungan yang jauh dari tempat layanan kesehatan,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Nyoman Kandun. (Evy)

     
  • sundalpapua 5:06 am on November 21, 2005 Permalink | Balas
    Tags: , , kondom   

    Indonesiana – Beli Kondom di ATM 

    Anda ingin membeli kondom? Di kota-kota besar dan kecil, barang itu ada di hampir semua apotek. Tapi, Anda mungkin risi membelinya, apalagi kalau pelayannya wanita. Lebih risi lagi kalau mau pilih-pilih.

    Di Papua, daerah yang selama ini selalu dikategorikan tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, penjualan kondom sudah dilakukan melalui sebuah mesin yang mirip anjungan tunai mandiri (ATM). Dengan hanya memasukkan tiga koin Rp 500 dan memencet salah satu tombol, satu kotak kondom merek Artika pun akan keluar. Aroma kondom juga beragam, ada vanilla, strawberry, cokelat, jeruk, dan durian.

    Memang, “ATM kondom” belum begitu banyak. Salah satu yang sudah beroperasi sejak akhir April lalu adalah di lokalisasi Tanjung Elmo, Sentani. Menurut pejabat Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hardiyanto, pemasangan ATM kondom seperti itu memang diprioritaskan di lokalisasi pelacuran karena menjadi tempat suburnya penularan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.

    Proyek besar ini adalah program kerja sama BKKBN Pusat, BKKBN Papua, dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, untuk menekan tingginya jumlah kasus HIV/AIDS di Papua. Menurut Ketua Kelompok Kerja Komunikasi Informasi dan Edukasi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Provinsi Papua, Agus Fauzi, berdasarkan data sampai 31 Maret 2005, kasus HIV/AIDS di daerah ini sebanyak 1.874. Itu yang dapat dideteksi. “Kemungkinan yang tak terdeteksi jauh lebih besar,” katanya.

    Rencananya, akan ada tujuh ATM kondom yang tersebar di seluruh Papua. Dua di Kabupaten Mimika, dan satu masing-masing di Kabupaten Jayapura, Sorong, Biak Numfor, Merauke, dan Manokwari. “Ke depan, kita berharap ATM kondom serupa juga akan dipasang di tempat-tempat umum atau perkantoran,” kata Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Pusat, Siswanto A. Wilopo. Tidak disebutkan apakah di kantor Dharma Wanita nantinya juga tersedia ATM kondom ini.

    Adakah yang mengajukan protes terhadap modernisasi di dunia esek-esek ini? Tak seorang pun. Malah yang bangga banyak. Misalnya Rico, seorang sopir angkutan umum yang jadi pelanggan di lokalisasi Tanjung Elmo Sentani. Selama ini dia jarang “main” menggunakan kondom. Alasannya, kios yang menjual kondom jauh. Lagi pula, kata Rico, dia malu membeli kondom di tempat-tempat umum, nanti dikira suka main perempuan—padahal memang ya.

    Para pekerja seks komersial—di masa lalu, ketika moral bangsa agak baik, mereka ini disebut sundal atau lonte untuk memberi kesan negatif—tak kalah girangnya. Kini mereka tak perlu repot mendapatkan kondom untuk pelanggannya. Soal merek, apalagi rasanya, juga tak dipermasalahkan. Kapan ATM kondom ini ada di mal-mal di Jakarta?

    Abdul Manan, Lita Oetomo

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal